Manusia dan Perasaan

Selamat hari Sabtu, yang berarti besok adalah hari Minggu. Menurutku, hari Sabtu itu lebih menyenangkan daripada hari Minggu. Kenapa? Karena esok harinya adalah hari Minggu.

Entah kenapa aku ingin menulis mengenai hal ini, yang tadinya aku pikir tidak ingin aku tuliskan di blog ini. Lebih baik aku simpan untuk koleksi pribadi. Tapi, ternyata ada secercah keinginan untuk membagikan kisah yang mungkin seharusnya tidak harus dibagikan. Karena? Karena, siapa aku? Sok-sok-an membagikan kisah, hahaha. Meskipun begitu, aku ingin siapapun yang membaca tulisan ini, baik dalam waktu dekat atau waktu jauh (LOL), bisa berbagi juga tentang kisahnya kepadaku yang selalu tertarik dengan manusia dan dimensinya.

Manusia dan perasaan. Aku sendiri tidak tahu kenapa memilih judul itu. Alasan aku menulis adalah kesadaran bahwa ternyata perasaan bukan hal yang patut untuk ditertawakan atau dikesampingkan. Maksudnya, terkadang manusia masih menertawakan satu sama lain bukan ketika misalnya temanmu mengalami patah hati dan kamu berkata ‘sudahlah, buat apa menangis karena hal seperti itu?’. Karena nyatanya, masalah hati itu serius dan patut diperhatikan. Tapi, aku pun tadinya adalah orang yang aku sebutkan sendiri sebelumnya. Menanggap remeh masalah hati dan mematahkan sayap-sayap manusia yang memberikan hatinya. Terlalu sombong memang. Pun, ketika aku merasakan penyesalan di mana seseorang pergi, aku tidak pernah belajar. Hingga, pada titik itu, aku diberikan pelajaran. Mematahkan tidak hanya perasaan, namun juga raga.

Semua terjadi secara cepat, tidak memberiku waktu untuk berpikir. Seperti kamu barusan saja sampai dari perjalanan panjang dan tiba-tiba kamu mendapatkan tamparan di pipi. Atau apa ya yang lebih menyakitkan? Oh, aku tidak sepenuhnya benar, sebelumnya aku punya waktu menyiapkan diri, yang nyatanya itu tidak berguna. Bahkan, elakanku untuk mengakui bahwa seseorang itu memang berharga pun tidak berguna. Satu malam, dua malam, tiga malam, dan hingga malam-malam keberapa yang aku tidak sadari, hanya kehampaan yang datang. Kehampaan yang menuntunku untuk tidak bisa merasakan perasaanku sendiri, apa aku sedang bahagia, sedih, kecewa, atau marah? Bahkan, aku yang sangat menyukai makanan, pada saat itu merasa tidak bisa merasakan rasa makanan apapun. Yang bisa aku pikirikan hanya, ‘jadi ini rasanya.’ Yang aku bisa hanya berlari, jauh, namun tiba-tiba aku ingin berbalik. Rasanya seperti lari bolak-balik, persis seperti itu. Aku berpikir diriku sangat berlebihan hingga beberapa waktu setelahnya, namun ternyata, tidak. Aku bersyukur bisa mengalami itu, karena artinya aku masih memiliki perasaan, yang selama ini aku pertanyakan.  Semua orang menyuruhku untuk menjadi kuat, meyakinkan bahwa aku bisa melewati semua itu. Aku sangat berterima kasih kepada semua orang itu, tapi kalau boleh jujur, kata-kata seperti itu buatku adalah tipuan. Kekuatan memang aku butuhkan, namun ternyata kesabaran lebih dibutuhkan. Karena itu juga, aku belajar bahwa aku tidak ingin menyuruh orang yang mengalami apa yang aku alami untuk kuat. Aku akan mengatakan kepada mereka bahwa apa yang mereka alami tidak mudah, tapi aku akan terus berada di samping mereka.

Kesabaran seperti kataku tadi adalah awalnya aku ingin semuanya cepat terlupakan. Awalnya aku menganggap hal seperti hanya akan berlangsung selama dua minggu hingga satu bulan saja. Lagi-lagi, ini bukan hal yang patut kamu tiru. Berdamai dengan diri sendiri dengan menyadari bahwa semuanya harus berjalan pelan dan hati-hati lebih penting daripada berusaha langsung melupakan. Semua butuh proses dengan melangkah, dan kamu tidak bisa lompat dari satu langkah ke langkah lain. Kamu harus mengikuti langkahnya. Hal pertama yang kamu rasakan adalah mempertanyakan apa yang terjadi. Selanjutnya, kamu akan menyalahkan diri sendiri dan berusaha memperbaiki. Namun, lama-lama, kamu akan menyimpan kebencian dan dendam. Hingga, kamu akan mencapai masa di mana kamu tidak lagi merasakan apa-apa, bukan rindu, bukan benci, tidak juga mendoakan kembali untuk kebahagiaannya. Di masa itu, cobalah belajar, karena kemudian aku menyadari bahwa ketika dua orang memutuskan untuk menghentikan perasaan satu sama lain, percayalah, itu bukan salahmu atau salah dia saja. Tapi, dua orang itu bersalah. Jadi, jangan mencoba menyalahkan dirimu atau dirinya karena tidak ada yang perlu dipersalahkan. Hanya, mungkin kalian memang tidak ditakdirkan untuk bersama karena tidak bisa mengerti satu sama lain. Atau, terlalu sulit untuk saling bertahan satu sama lain, meskipun sudah mencoba. Aku pun masih tidak percaya bisa mencapai masa ini, di mana rasanya semua telah berlalu, dan aku bisa melepaskan dengan damai. Hanya satu yang aku sayangkan, aku telah lupa akan semua kenangan, seperti yang biasa aku lakukan ketika perasaanku terpatahkan. Aku minta maaf, tapi ini adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan.

Untuk siapapun yang sedang berjuang untuk keluar dari kungkungan perasaan yang terpatahkan, percayalah bahwa waktu benar-benar akan menyembuhkan segalanya, bahkan ketika kamu tidak berusaha. Untukku, semakin aku berusaha, segalanya malah berubah semakin sulit. Jadi, terkadang, yang bisa kamu lakukan memang hanya menyerahkan segalanya kepada waktu, seiring dengan satu-satunya usaha yang bisa kamu lakukan, berharaplah untuk tidak bertemu dengannya dalam waktu yang sangat lama. Karena, bertemu kembali di saat semuanya belum sembuh, memang sangat menyulitkan.

 

Leave a comment